Eccedentesiast


Apa kau memang seperti itu ? seperti lebah yang hanya hinggap ketika ia butuh, hanya datang lalu langsung pergi seperti kilat yang menyalak-nyalak, seperti suara yang hanya bergema di dalam ruangan kosong, seperti fatamorgana yang selalu membohongi ?.

Ya, kau memang seperti itu. Tapi aku korbannya. Aku korban disetiap hadir mu, dan aku juga korban di setiap pergi mu. Aku muak. Sangat muak!. Ketika kau selalu berkata “Ini akan indah jika kita bersama”. Sebenarnya aku tahu, kalau itu hanya omong kosong belaka.

Kita selalu bersama, tapi kau tak pernah anggap aku ada. Seperti sayur bergula yang tak terasa manis. Rasanya sesak, sampai paru-paruku harus bekerja lebih berat. Nafasku ngos-ngosan ketika aku berusaha merasakan secuil keindahan yang semoga saja bisa aku dapatkan ketika aku bersamamamu.

Kau tau, aku selalu berusaha melakukan yang terbaik. Menjadi pribadi paling manis yang aku bisa. Namun apa!. Sepertinya kau tetap tak suka aku. Tak peduli kalau ada aku. Apa aku harus berubah menjadi orang lain agar kau suka ? menyembunyikan diriku di tempat paling terpencil agar kau hanya lihat sifat ku yang hanya pura-pura.

Kamu pernah tahu rasanya, ketika kau dengan hati rela melakukan sesuatu hal bodoh agar orang didekatmu tertawa, padahal kau tahu, itu hanya akan mempermalukan dirimu sendiri. Tahu rasanya, ketika kau bertingkah seperti orang gila dan anak kecil hanya agar mereka sadar bahwa ada kamu disana ? pernah kamu rasakan ? pernah tau rasanya ?. Bilang ‘iya’ jika memang pernah, dan jika tidak, jangan coba-coba kau bohongi aku.

Walaupun begitu, kau tahu aku sangat menyayangimu. Sayangnya kau tak pernah tahu itu. Karna kau tak pernah berniat untuk tahu. Sengsaranya jika jadi aku. Jika kau jadi aku, aku tak tahu, bahkan kalau aku hanya menebak-nebak aku rasa aku tetap tak bisa tahu, apa kau hanya akan diam dan menikmatinya seperti aku atau kau akan lakukan hal lain aku tak tahu.

Sekarang aku masih dalam tahap berusaha. Aku berharap tak selalu berusaha, agar aku bisa terus merasa bahagia ketika aku bersamamu. Sekarang, biar ku ceritakan bagaimana jelasnya agar kamu mengerti, agar kau merasa.

#Saat matahari mulai tersenyum malu-malu

“Ping!”, dering handphone ku mulai ku dengar. Ketika aku lihat, ternyata itu dari Flo.
“Ada apa ?”, jawabku.
“Aku pergi ikut Kamu ya, motorku belum dateng nih dari dealer”, Ujar Flo
“Oh, yaudah. Nanti Kamu langsung kerumah aku aja”
 “Oh, iya”

#06.35 di depan rumah

“Eh, hay Flo. Udah dari tadi di sini ?”
“Hem, enggak sih, baru aja sampe, eh kamunya langsung keluar”, jawabnya sambil sedikit tersenyum.
“Oh, yaudah. Berangkat sekarang yuk” ajak ku.
“Ayuk”

#07.00 di kelas

“Hey Cantikkk, Kamu udah bikin tugas Sejarah ?” tanya Gina bersama Ica, Devi, dan Saras.
“Udah kok, semalem aku bikinnya”, jawabku seadanya.
“Boleh lihat gak ? ayolah, Kamu kan baik. Cantik pula”, bujuk Saras.
“Oke oke iya”, jawabku dengan rasa tidak ikhlas.
“Kamu baik deh”, ucap mereka.

#09.40 di kantin

“Hey Flo, motor Kamu udah dateng ?” tanya Tami.
“Belum nih, kayaknya nanti siang deh”
“Oh, Kamu beli motor baru Flo?” tanya Saras.
“Iya, hehe”
“Besok kan minggu, kita jalan yuk”, ajak Ica.
“Boleh-boleh. Sekalian makan-makan atas datangnya motor baru Flo”, ucap Gina.
“Hahaha, jadi aku yang traktir ? oke. Jam berapa ?” tanya Flo.
“Jam 10 aja Flo”, ucap Ica.
“Enggak Ca, jam 10 aku belum bangun. Jam 2 aja” ucap Devi.
“Kamu nih, tiduuur aja kerjaannya” ucap Ica.
“Gimana kalo jam 3 aja, biar agak sorean”, saran ku.
“Yaudah yuk, kita ke kelas aja. Jadinya jam 2 ya”, ucap Flo.

Ucapanku benar-benar tak dihiraukan. Padahal setiap mereka butuh selalu datang kepadaku.

Aku tak tahu, ada berapa banyak orang seperti aku di dunia ini. Yang hatinya hancur setiap saat. Yang kesabarannya terkuras  setiap detik. Hanya ramai ketika orang sedang butuh. Hanya baik ketika mereka ada maunya. Ya, itulah hidupku.
Tapi lama-lama aku betah, aku mulai suka dengan hidupku, aku mulai bisa menikmatinya. Lama-lama hatiku mulai terlatih dengan caranya sendiri, atau malah itu hanya pelampiasanku saja. Pelampiasan karna sudah tak tahan dengan semuanya.

Seiring berjalannya waktu, aku rasa hidupku mulai berubah. Aku mulai menyukai sepi, aku jadi lebih sering sendiri. Aku jadi pribadi yang sangat berbeda. Hatiku mulai mengeras. Aku jadi lebih berani. Semua yang ingin ku ucapkan selalu ku keluarkan. Tidak ada kebohongan, tidak ada rasa takut.

Sepertinya aku mulai gila. Psikologiku sudah terganggu. Tapi masih pada tahap awal kurasa. Aku tak menyalahkan Tuhan, aku tak menyalahkan keluargaku, aku tak menyalahkan diriku. Aku hanya menyalahkan dan benci kepada dia yang selalu berpura-pura, dia yang hanya datang ketika butuh, dia yang selalu mengambil tanpa pernah memberi. Benar, merekalah yang membuatku jadi seperti ini. Buat aku menjadi orang yang lebih buruk lagi. Sekarang status BBM ku hanya ku tulis ‘Tetap seperti ini atau kembali seperti aku yang dulu?’. Rasanya aku sudah muak. Aku stress jika aku berada di tengah keramaian. Jadi, aku selalu mencari celah untuk bisa sendiri.

Sendiri dan menghidupkan hayalan yang tak pernah nyata. Memimpikan hal bodoh yang aku tahu tak akan terjadi. Ya, sekarang aku menjadi seorang pemimpi dan penghayal. Tidak lagi menjadi gadis ceria, pendengar yang baik, bahkan tidak lagi peduli dengan apa yang terjadi.

Tapi tetap saja, ‘di luar aku tenang, di dalam aku tertekan. Menyedihkan!!!’

***

Kesedihan itu selalu berlanjut hingga aku menyelesaikan studi S1 ku di sebuah universitas yang dulu memang benar-benar aku inginkan. Sampai pada suatu ketika,
“Eh, jadi kirim obat ke PT nya pak Bian nggak Fie ?” tanya rekan kerjaku sesama apoteker.
“Iya lah jadi, hari ini ya Te,” jawabku.
“Jam 10 ? siapa aja yang pergi ?” tanya Dhante lagi.
“Iya jam 10. Yang pergi tuh aku, Kamu, sama 2 anak magang yang biasa disini itu”
“Oh mereka, yaudah oke.”

#10.45 lokasi sasaran

“Ini Pak obatnya. Vitamin sama tambah darah kan ya ?” tanya ku.
“Iya Fie, bisa tolong langsung dibagikan saja nggak ?”
“Oh iya Pak, bisa kok”
“Yasudah, saya kumpulkan mereka dulu ya Fie, biar Kamu sama temen-temen mu gampang bagikannya.”
“Iya Pak. Saya tunggu disini ya Pak.”

# Setelah hampir 30 menit membagikan obat-obatnya,

“Maaf, saya belum kebagian obatnya” tegur seseorang.
“Oh iya in..” mataku terbelalak dan fikiranku melayang jauh kebelakang. Sepertinya aku kenal dia. Masih pangling, tapi aku takut dia marah. Jadi langsung kuberikan saja obatnya “Ini obatnya maaf.”
“Hey, FIE..  EL..SA..   A..GA..THA” dia mengeja nama yang tertera di jas putih ku. Setelah selesai mengeja, ia langsung menatapku. Sepertinya ia mengamatiku.
“Maaf ya, kenapa ?” tanyaku bingung. Dhante dan 2 rekan ku yang lain yang sedang berada didekatkupun kurasa mereka bingung juga.
“Enggak, kayaknya aku kenal namanya. Atau mungkin hanya nama yang sama” ucapnya menjelaskan.
“Kayaknya aku juga kenal Kamu. Tapi siapa ya, eh kayaknya..” mataku terpejam sejenak sambil jari telujukku ku putar-putarkan di dekat kepalaku. “Hem, belum bisa inget. Tapi, saka,, matematika,, coffee latte,,” belum selesai aku mengingat dia langsung memotong konsentrasiku.
“Oh, jadi bener Kamu Fie. Kamu masih inget semuanya ? Hahaha, tapi kayaknya Kamu masih lupa namaku.  Aku bantu ingetin deh, inget Dannar nggak Fie Dannar Nugraha.”
“Oh iya....” seruku heboh sambil menjentikkan jariku. “Pantesan kok kayak kenal, tapi siapa. Eh taunya Kak Dannar ya”
“Iya, eh Kamu jadi apoteker sekarang ?”
“Iya Kak. Dan Kakak beneran jadi tukang ngurusin minyak. Cie yang udah jadi big bos,” ucapku sambil tersenyum.

Bahagia iya. Sejujurnya walaupun masa sekolah ku dulu sangat suram. Tapi untungnya tetap ada seseorang yang rela berada di dekatku. Mendengarkan setiap cerita ku. Menyeka air mataku jika mereka mulai jatuh. Merangkul ku saat aku mulai berjalan kebelakang. Dan mengembalikan tawaku disaat aku mulai lupa bagaimana caranya tertawa. Walaupun hanya satu. Tapi satu itu benar-benar cukup, lebih dari cukup.

Dia satu tingkat berada diatas ku. Sejak bulan juli 5 tahun lalu, aku benar-benar kehilangan dia. Karena tempat yang berbeada dan jarak yang tak mau toleransi.
Sejujurnya rinduku sangat besar selama 5 tahun ini. Dan kau tau apa jadinya ketika seseorang telah merindu, menumpuk rindunya hingga hampir jadi gunung, dan sekarang kembali bertemu. Rasanya gunungan rindu itu akan meletus, menghambur keluar dan berterbagan seperti debu-debu yang tak terlihat.
 
“Iya nih, jadi tukang minyak. Alhamdulillah banget bisa kesampean” ucapnya sambil tersenyum.
“Berarti aku bisa dapet diskon dong ya kalo ke SPBU” candaku.
“Hahaha, aneh Kamu. Mana bisa diskon-diskonan di SPBU, kalo mau cari diskon kita ke Maretmaret aja yukk.” Ucapnya sambil tersenyum.
“Hehe kirain bisa dikasih diskon.”
“Eh, udah selesai kan bangiin obatnya ?” tanyanya.
“Udah kok. Kenapa ?”
“Maaf, boleh pinjem Fie nggak ? saya mau ajak dia pergi sebentar,” ucap Kak Dannar kepada rekan rekanku yang lain.
“Boleh, tapi Kamu harus anter Fie ke RS. Soalnya kita kesini pake mobil rumah sakit,” ucap Dhante.
“Oke nanti kuanter kok. Tenang aja”

#11.55 Java Resto and Resort

Setelah memilih tempat, akhirnya kami berada di satu meja dan sepasang kursi yang berada di balkon. Dari sini kami langsung bisa melihat hasil karya Tuhan yang tak terkira indahnya.

“Fie, Kamu suka tempatnya ?” tanya Kak Dannar memecah keheningan. Membuyarkan kekagumanku yang sejak awal ku rasakan pada tempat ini.
“Eh iya Kak, suka banget malah. Cantik, indah, eksotis, mengagumkan” jawabku sambil tersenyum. “Makasih ya Kak udah ajak aku kesini.”
“Iya, sama-sama. Eh Kamu apa kabar ?”
“Baik Kak. Kali ini, seperti yang terlihat,” jawabku.
“Syukurlah. Udah 5 tahun ya. Lama banget ya. Udah kayak setengah abad aja” ucapnya. “Yang tadi itu pacar Kamu ?” tanyanya. Mungin maksudnya Dhante.
“Oh itu Dhante Kak, partner ku di RS. Dia juga apoteker”
“Oh, jadi siapa pacarmu sekarang ?”
“Sejujurnya Kak, aku nggak pernah punya pacar” jawabku sambil menunduk.
“Kenapa ?”
“Karna yang lama masih tetap tinggal Kak. Dia nggak mau pergi dari sini dan sini” jawabku sambil menunjuk otakku lalu hatiku.
“Apa yang lama itu aku ?” tanyanya.

Aku tidak kaget mendengar pertanyaannya. Karena memang sebelum dia pergi 5 tahun lalu, dia sempat berkata bahwa ada rasa yang beda dihatinya untukku. Dan aku bilang, “Aku juga begitu”. Jadi tidak ada yang disembunyikan diantara kami.

“Fie, 5 tahun ini aku lakukan hal yang sama sepertimu. Sendiri dan tetap berada pada zona itu. Zona yang nggak tau kenapa aku nggak bisa lari dan aku tetep rasain rasa ini. Aku pernah bilang ke Kamu kayak gini, dan aku masih inget banget bunyinya gini “Insya Allah aku akan jaga rasa ini. Untuk sekarang aku nggak bisa apa-apa karna aku belum punya apa-apa. Tapi nanti aku akan cari semuanya dan kalau sudah kudapatkan aku harap Kamu yang akan ada didekatku”. Kamu inget kan Fie ?” tanyanya.
Tak ada jawaban dariku. Hanya menangguk dan mataku mulai basah.

“Sekarang aku sudah bisa Fie, sudah bisa mandiri. Aku tau mungkin ini bikin Kamu kaget. Baru pertama ketemu lagi dan aku langsung bilang ini ke Kamu. Aku nggak bisa Fie, aku nggak bisa nahan lagi. Aku nggak sanggup kalau aku nunggu-nunggu lagi aku nggak bisa dapet tempat lagi dihati Kamu” ucapnya sambil mengeluarkan dompetnya.

Dari dompetnya diambilnya cincin yang diatasnya berjajar logam mulia yang ku rasa itu berlian. Setelah itu ia memundurkan kursi tempatnya duduk. Berjalan kearah ku, dan menekuk kaki kirinya dan menopangkan tangan kanannya di atas kaki kakannya. Matanya menatapku. Penuh harap, dan mulai bebicara lagi.

 “Aku sayang sama Kamu udah lama Fie. Cuma Kamu yang bisa bikin aku jatuh cinta setiap hari. Cuma Kamu yang bisa tinggal didalam tempat yang namanya hati yang aku punya. Cuma Kamu yang bisa bikin aku nunggu lama Fie. Aku pengin Kamu bisa jadi temen, sahabat, pacar, istri dan ibu dari anak–anak aku Fie. Kamu mau kan jadi pendamping hidup aku Fie, yang selalu ada disaat aku jatuh selalu ada disaat aku bahagia, yang selalu bisa aku lihat setiap bangun tidurku, yang selalu bisa memelukku disaat aku sedang hancur dan disaat aku sedang bahagia. Will you marry me Fie ? Please.”
                                                                                                                                         Lama aku berfikir. Memikirkan apakah aku sudah siap atau belum, sampai hatiku berkata. Kenapa masih berfikir ? kenapa masih ragu ? kau hanya perlu percaya. Kalian sudah sama. Tinggal satu langkah dan satu jawaban saja.

“Jadi imam yang sholeh buat aku ya Kak, jadi pemimpin yang bertanggung jawab, jadi suami yang selalu bisa sayang sama aku, jadi pribadi yang sabar serta ikhlas, jadi ayah yang sayang sama anak-anaknya ya Kak”
“Alhamdulillah ya Allah. Pasti Fie, aku bakal turutin permintaan Kamu. Fie, sebenernya ini udah lama aku siapin. Aku selalu berdo’a supaya aku bisa ketemu Kamu lagi dan bisa cepet-cepet lamar Kamu. Jadi aku beli ini dan selalu aku bawa” ucapnya sambil memsangkannya tepat di jari manisku.
“Makasih Kak” ucap ku sambil tersenyum dan aku yakin bahagiaku saat itu juga ia rasakan.
“Nanti, jadi istri yang sholehah ya Sayang” ucapnya sambil mengusap kepalaku lembut.
“Insya Allah Kak”.

Akhirnya aku bisa dapatkan bahagia yang sesungguhnya. Yang selama 21 tahun ini aku tunggu-tunggu. Kebahagiaan yang aku dapatkan selain dari kedua orang tua dan adik-adik ku. Kebahagiaan yang aku harap akan tetap bersemayam di sini, dihatiku, dihidupku, dan di setiap hari-hari ku.


“Jangan pergi ya Nar. Tetep disini, disisiku”

---TAMAT---

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rangkuman Berapresiasi Seni Rupa K13

Ragam Musik Tradisional Musi Banyuasin

Pemanfaatan Produk dan Jasa Perbankan