Akhir atau Awal ?
Seberapapun bencinya kamu Nar, satu
yang harus kamu tahu. Aku sangat amat mencintai dan menyayangimu. Tolong
artikan semua cuek dan sifat seolah masa bodoh ku ini sebagai caraku untuk memperhatikanmu,
mempedulikanmu dari jarak jauh. Itu satu-satunya hal yang bisa aku lakukan
selama ini. Ketika nanti hal itu tidak bisa kulakukan lagi, tolong simpan
baik-baik semua kenangan itu ya Nar. Tidak perlu selalu kau ingat. Hanya saja,
aku minta kau untuk menyimpannya. Aku berharap, semoga saja kamu bisa
mendapatkan apa yang benar-benar kamu inginkan. Seseorang yang benar-benar kau
harapkan kedatangannya.
Berbahagialah
suamiku.
Dari aku yang selalu
ingin kamu bahagia
Tubuhku
langsung melemah, banyak sekali kejadian-kejadian lama yang berputar
dikepalaku. Seketika itu juga dadaku terasa sesak dan ingin meledak. Seluruh
tubuh ini kaku. Aku hanya berada di posisi yang sama selama setengah jam ini. Duduk
dipinggiran kasur dengan tatapan kosong dan dengan tangan yang masih memegang
sepucuk surat yang baru saja kubaca. Setelah aku ingat semuanya, dari awal
hingga akhir. Tiba-tiba air mataku mengalir dengan derasnya. Tanganku terkepal
dan menghantam-hantam kasur dengan penuh rasa marah. Aku marah, aku kesal, dan
kecewa dengan diriku sendiri.
“Kenapa aku
bodoh banget si!! aku tahu dan selama ini aku udah sadar. Tapi kenapa sikap ku
ke istriku masih sama. Kenapa aku nggak bisa bikin dia nyaman, kenapa aku nggak
bisa ngasih tau dia kalo sebenernya aku juga sayang dia. Kenapa. Kenapa. Kenapa!!
Bodoh!!” berkali-kali kata-kata tersebut aku keluarkan, kata-kata kasar itu
memang aku keluarkan untuk menghardik diriku sendiri. Kenapa aku baru
menyadarinya setelah semuanya berlalu, setelah semuanya berubah. Apa memang
benar-benar sudah terlambat ?
#sebelumpenyesalan
Besok hari
pernikahanku, aku benar-benar tidak menyangka akan menikah secepat ini. Baru
saja satu tahun lulus kuliah, langsung dinikahkan dengan gadis pilihan mama
papaku. Mereka bilang “Kamu kan udah kerja, jadi nunggu apa lagi to ?
dia anaknya baik kok, cantik, pinter, bibit bebet bobotnya juga mama sama papa
udah tau. Langipula, zaman sekarang itu edyan banget loh Nar. Mama sama
papa nggak mau kamu ikut-ikut orang di luar sana yang pada nggak bener. Kalo
kamu udah nikah kan, paling nggak, ada yang ngawasin kamu. Ada alasan buat kamu
nggak ngelakuin hal-hal nggak senonoh kayak gitu.” Nasihat papaku itulah yang
mungkin membuatku sedikit tertarik untuk menikah.
“Nar, Fie udah
kamu telepon belum ? jangan lupa kasih tau dia kalo besok kita dateng
kerumahnya jam 9 ya” ujar mamaku mengagetkan. Melihat ekspresiku dan mengingat
aku tidak menjawab perintahnya, mama langsung masuk dan berdiri di sampingku,
mengangkat wajahku dan menatapku lekat-lekat, lalu bertanya kembali “Dannar,
ada apa ? besok kan kamu mau ijab, kenapa kok kayaknya banyak pikiran gitu ?
apa kamu sakit ? atau jangan-jangan kamu keberatan kami jodohkan ?” ucap mama
dengan wajah khawatir. “Nggak kok Ma, Dannar nggak papa. Cuma mikir aja, besok
Dannar bakal jadi suami orang. Dannar harus bisa jadi suami yang bertanggung
jawab buat Fie, istri Dannar. Dannar harus ngerubah ini dan itu, sifat dalam
diri Dannar yang masih kayak anak kecil. Cuma itu kok Ma.” Ucap ku, aku harap
jawabanku itu akan menenangkan hati mama. “Oalah, itu to. Nar,
istri kamu pasti nrimo kok. Baik dan buruknya sifatmu pasti bisa dia
maklumi. Dan kamu sebagai suami juga harus bisa nerima kurang dan lebihnya
istrimu. Udah, nggak usah mikir macem-macem. Nanti kamu demam lagi.” Jawab
mama, “Jangan lupa Fie dikabari” ucap mama sebelum keluar dari kamarku.
“Maaf ma,
bukan maksud Dannar buat bohong sama mama” batin ku. Sambil perlahan-lahan
ku taruh kembali diary coklat bernuansa klasik yang dari tadi sebenarnya
aku pandangi, diary itu pemberian Peny. Perempuan yang aku sayangi sejak
lama. Sebenarnya yang membuat hatiku berat untuk menikah adalah dia. Sudah lama
kami berjanji untuk selalu bersama, dan janji itu masih kami tepati sampai
sekarang, teman-temanku banyak yang sudah mengetahui tentang hubungan kami. Tapi
setiap aku mencoba untuk mengajaknya menikah, selalu saja ada alasan untuk
menolaknya. Salahku juga yang tidak pernah mengenalkan Peny kepada mama papa. “Udahlah,
dia juga udah tau kalo besok aku nikah. Dan kayaknya dia baik-baik aja denger
kabar itu. Apa mungkin dia emang bener nggak ada niat serius sama aku.” Ucapku,
sambil beranjak dari tempat dudukku dan mengambil handphone yang dari
tadi menjadi saksi kegalauan seorang Dannar Nugraha.
Hari
menegangkan ini telah ku jalani, Alhamdulillah tanpa hambatan apapun. Fie
sangat cantik dengan gaun putih gradasi biru yang dikenakannya. Peny datang dan
mengucapkan selamat seperti tamu lainnya. Wajah keluargaku dan keluarga Fie
terlihat sangat bahagia. Ku rasa aku juga bahagia hari ini, walaupun tetap ada
perasaan bimbang dalam hati. Setelah acara hari ini usai, seperti rencana awal.
Aku berniat utuk tinggal sendiri dengan Fie di rumah baru kami.
Hari-hari
berlalu seperti biasa. Fie menjadi istri yang sholihah dan sangat berbakti
kepada ku, suaminya. Dia selalu memasak makanan yang menurutku sangat lezat,
membangunkanku saat subuh tiba, menyiapkan bajuku, merapihkan dasiku, mencium
tanganku setiap aku pergi dan pulang bekerja, membuatkan ku susu setiap sebelum
tidur, mengingatkanku kalau aku sudah terlalu asik bekerja di ruang kerja
sampai larut malam. Dia tidak pernah merepotkanku, dia tidak pernah membuatku
marah, dia menjadi istri yang sangat baik bahkan bisa di bilang sempurna. Tapi
entah kenapa, aku masih menjalin hubungan dengan Peny seperti sebelumnya. Fie
tidak mengetahu hal bejat yang aku lakukan ini. Karena dia tidak pernah
bertanya dan bertindak yang macam-macam kepadaku. Jadi aku merasa sangat aman
melakukan hal ini.
Sampai suatu
hari ketika aku memberitahunya bahwa aku tidak bisa pulang ke rumah untuk makan
siang karena aku masih harus menyelesaikan pekerjaan kantorku, ternyata dia
datang dan membawakan bekal untukku. Dan saat itu dia harus melihat pemandangan
yang tidak seharusnya dia lihat. Dia datang ketika aku hendak menyuapkan Peny
sesendok nasi.
Fie langsung
berjalan ke arahku dan ia menatap Peny, wajahnya berubah. Seperti orang yang
ingin marah, seperti orang cemburu. Aku sudah takut kalau-kalau dia melakukan
sesuatu yang buruk kepada Peny. Tapi prediksiku salah. Setelah menatap Peny
cukup lama, Fie langsung beralih menatapku. “Mas, ini aku bawain makan siang. Maaf
agak telat, tadi di ring road agak macet soalnya.” Ucapnya sambil
menyelipkan senyuman diakhir perkataannya, hal itu jelas membuatku sedikit
kaget dan merasa bersalah. “Fie, makasih ya. Kamu sampai repot-repot begini. Kamu
udah makan sayang ?” “Nggak papa kok Mas, belum. Nanti aku makannya, di kantor.”
“Makan di sini aja yuk, sama Mas” mendengar ajakanku itu, dia tidak langsung
menjawab. Fie menatap mata Peny sekali lagi dan berkata “Nggak usah Mas, aku
langsung ke kantor aja” sambil terus menatap Peny. “Aku ke kantor sekarang ya
Mas, Assalammualaikum” ucapnya sambil mencium tanganku dan berlalu. Tanpa
menatap Peny lagi.
“Nar, gimana
nih. Aku taut nanti dia marah, aku takut banget pas Fie natap aku kayak tadi”
ucap Peny selepas Fie pergi. “Tenang aja, Fie nggak kayak gitu kok” jawabku
sambil menggenggam tanyan Peny.
Setelah
kejadian itu, dua hari sikap Fie berubah. Dia tetap mengerjakan apa yang
menjadi kewajibannya, tapi dengan wajah yang berbeda. Aku belum siap basa-basi
menanyakan apa yang terjadi. “Mas, kamu ada hubungan apa sama Peny ?”
pertanyaan itu dilontarkannya ketika aku baru saja melihat matanya yang
terpejam.”Nggak ada kok Sayang, nggak ada apa-apa” ucapku dengan
sesantai-santainya. Padahal kalau saja dia melihat wajahku saat itu, aku yakin
dia pasti akan langsung tahu kalau aku sedang berbohong. “Nggak ada apa-apa kok
tapi mesra gitu, kita aja nggak segitunya” ucapnya “Bener Fie, nggak ada
apa-apa” ucapku lagi, setelah itu tidak ada lagi jawaban. Aku langsung
memejamkan mataku yang sebenarnya tidak mau ku ajak tidur. Setelah kira-kira 30
menit berlalu, Fie menghidupkan lampu dan aku tidak tahu apa yang ia lakukan. Mungkin
menatap wajahku, yang jelas ia berkata “Aku cemburu Nar, kenapa hal sesepele
itu bisa bikin perasaanku campur aduk nggak karuan ? kenapa kamu nggak pernah
ngelakuin hal itu ke aku ? kenapa malah ke Peny yang bukan istri kamu ? aku nggak
tau apa yang sebenernya aku rasain sekarang Nar, aku nggak bisa nerjemahin
perasaanku yang satu ini. Aku sayang banget sama kamu Nar, memang kita hammpir
kayak orang nggak kenal selama empat bulan ini, kayak hidup sendiri-sendiri
dalam satu rumah yang sama. Berasa idiot banget ngelakuin hal macem itu Nar. Tapi
empat bulan ini berhasil bikin aku sayang sama kamu. Ngeliat kamu setiap baru
bangun, ngeliat kamu pergi ngantor, nungguin kamu pulang, itu bener-bener bikin
aku bahagia. Ngebuat aku ngerasa jadi istri yang semestinya. Tapi dua hari yang
lalu, kamu bener-bener ngehancurin perasaan aku Nar. Good night Sayang” darahku
berdesir dan rasanya mataku sangat ingin terbuka mendengar Fie membisikkan
kata-kata itu didekat ku. Tanganku hampir terangkat untuk menghapus air matanya
yang mengalir karena menahan rasa sakit hati atau kebencian, aku tak tahu
pasti. Aku bisa merasakan kegelapan yang kembali dipaksa menghampiri kamar
kami. Setelah itu ia menempatkan tubuhnya pada posisi biasa ia tidur.
“Hari ini kan
Sabtu Mas, Mas Dannar punya rencana ?” tanya Fie. “Hem, iya Sayang. Mas mau
ketemu temen sekitar jam sepuluh nanti. Ada apa ?” jawabku “Oh, nggak papa Mas.”
Hanya itu percakapan pagi ini. Kemudian tidak ada lagi yang kami bicarakan.
Setelah aku
memesan satu blended coffee espresso ukuran venti, dan memilih
dua talk bread. Aku langsung megedarkan pandanganku ke seluruh ruangan. Setelah
itu aku lagsung melangkahkan kaki ku menuju meja dekat jendela dan langsung
duduk di hadapan gadis yang sepertinya sudah menungguku dari tadi “Itu kopi
udah abis setengah Pen ? aku kelamaan ya ?” tanyaku “Ah, nggak juga kok Nar”
jawabnya sambil tersenyum “Tuan espresso, kopi mu tuh” ucapnya lagi
setelah nama ku dipanggil “Bentar ya” ucapku sambil beranjak menuju sumber
suara. Satu jam telah berlalu. Seperti biasa, selalu banyak hal yang kami
ceritakan. Bahkan setelah kejadian hari itu.
“Fie Elsa Agatha,
starbuck blended coffee dark mocha!!”
“Fie Elsa
Agatha, starbuck blended coffee dark mocha!!” ucap mas-mas ber apron
hijau tua itu dengan suara ringan menyenangkan. Namun sama sekali tak bisa
membuat Fie berpaling melihat dari arahku. Sudah dua kali ia menyebutkan
namanya. Sejujurnya aku terkejut ketika mas-mas itu menyebutkan nama Istriku,
setelah mendengarnya aku langsung mencari-cari pemilik nama itu. Dan ternyata Fie
tengah duduk terpaku di meja depan dengan pandangan yang sulit aku terjemahkan.
Matanya menatap tajam kearah kami berdua. Aku tidak tahu sejak kapan Fie ada di
sana, memperhatikan kami.
“Fie Elsa Agatha, starbuck
blended coffee dark mocha ukuran venti nya udah mbak.” Setelah
mendengar suara itu ia langsung berjalan kearah counter, mengambil
pesanannya lalu membayar. Ia berjalan keluar tanpa melihat ke arah kami lagi. Peny
sama terkejutnya denganku. Dia langsung diam dan mengarahkan pandangannya
keluar jendela.
Setelah Sabtu
itu, terus terjadi kejadian yang tidak diinginkan. Aku tidak tau seberapa
banyak sakit yang Fie rasakan. Tapi Fie tidak pernah mengatakan apapun
kepadaku. Ia hanya menyampaikan isi hatinya pada malam itu, selebihnya tidak
pernah lagi.
Malam ini
badanku rasanya tidak karuan, lemas sekali. Aku merasa kedinginan. Tapi aku
tidak bisa mematikan AC seperti yang ku mau. Karna nanti Fie pasti akan
kepanasan. Sekuat tenaga aku menahan badanku yang terus menggigil. Sampai
ketika Fie tanpa sadar menyenggol tangan ku. Dan aku bisa merasakan bahwa ia
terkejut. Setelah itu Fie bangun dan memeriksa kondisiku. Ditempelkannya
telapak tangannya di kening, leher, dan belakang telingaku. “Mas, Mas kenapa ?
apa yang Mas rasain ?” tanyanya “Nggak tau, Badanku rasanya dingin banget” “Badan
Mas anget, terus mas ngerasa kedinginan. Kenapa bisa demam ? Mas makan apa sih
emangnya ?” dia mengucapkannya sambil mematikan AC dan berjalan keluar kamar,
setelah itu Fie masuk dengan membawa satu baskom dan handuk kecil serta obat. Dibalurkannya
minyak kayuputih ke tubuhku, setelah Fie memintaku duduk sebentar untuk meminum
obat, dia langsung menyuapkan obat ke mulutku serta langsung memberiku segelas
air putih yang langsung kutenggak habis. Setelah itu dia mengompres ku,
setengah jam berlalu aku masih bisa merasakan Fie yang terlihat cemas dan terus
mengurusi aku yang sedang sakit. Sampai aku jatuh tertidur.
Keesokan
harinya, aku terbangun dan aku bisa melihat Fie tertidur dalam posisi duduk
dengan tangan masih memegang handuk yang ditempelkannya di keningku. Aku
melihat kantung matanya yang membesar, menandakan bahwa ia benar-benar tidak
tidur semalaman, wajahnya terlihat letih. Aku memandanginya, dan ketika
tanganku akan meraih helai-helai rambutnya, tanganku tertahan karena suara handphone
yang tiba-tiba berdering. Fie langsung terbangun dan melihatku sebentar. Lalu
ia beranjak mengambil handphonenya kemudian mengangkat panggilan itu. “Maaf
Pak, hari ini saya tidak bisa ke kantor. Ada yang harus saya kerjakan di rumah”
“Iya Pak, laporan dan materi untuk meeting hari ini sudah saya kirimkan
ke email bapak” “Iya Pak, sekali lagi saya mohon maaf ya Pak” “Iya Pak,
selamat pagi.” Setelah itu ia menaruh hanphonenya lagi. Aku bisa melihat
laptopnya yang sedikit terbuka di atas meja tepat disampingku. Aku
semakin yakin kalau Fie tidak tidur semalaman demi menjaga aku.
Selama dua
hari, Fie mengurusi ku dengan sangat baik dan aku bisa merasakan kasih sayang
yang ia berikan. Peny tahu kalau aku sendang sakit dan aku tidak tahu alasannya
apa sehingga dia sama sekali tidak berkunjung untuk menengok keadaanku, sampai
aku kembali bekerja pun Peny tidak menanyakan keadaanku. Setelah beberapa hari
kemudian, Peny memintaku untuk mengajaknya menonton video yang kami buat
pada saat SMA. Aku langsung mengajaknya kerumah dan memutarkan videonya.
Kami menonton di ruang keluarga. Saking asyiknya, kami jadi lupa waktu. Waktu
hampir menunjukkan jarum pendeknya ke angka sebelas. Aku lupa kalau biasanya
Fie pulang jam sebelas untuk memasak makan siang. Dan memang benar, setelah aku
melihat jam. Fie langsung masuk dan melihat kami dengan tatapan tidak percaya. Aku
sangat gugup, dan kegugupanku itu membuat tubuhku kaku, tidak bisa ku gerakkan.
Rasanya seperti ada yang menyiramkan satu ember besar lem ke tubuhku ini. Setelah
itu Fie langsung berjalan ke arah kamar. Tidak lama kemudian, ia keluar dengan
dua koper besar di sisi kiri dan kanan. Tubuhku masih kaku, sampai ketika Fie
akan memasuki mobilnya, aku langsung berlari keluar “Fie, kamu mau kemana ?”
dia hanya melihatku sebentar, lalu mengarahkan pandangan kepada Peny. Hanya
mengatakan “Aku siap menandatangani surat cerai kapan pun kamu kasih ke aku Mas”
setelah mengucapkan itu Fie langsung masuk mobil dan meninggalkan kami berdua.
Setelah itu
Peny langsung pulang. Aku dan Peny tidak pernah saling menyapa lagi baik di
kantor maupun di luar kantor. Aku mencari istriku kemana-mana. Aku mencarinya
di rumah orang tuaku, menelpon mertuaku, menelpon sanak saudara yang lain,
pergi ke rumahnya dulu yang ia tempati sebelum menikah denganku, menanyakan
kepada temannya, mencari namanya di seluruh hotel yang ada, tapi hasilnya
nihil. Sampai aku hampir putus asa karena tidak bisa mendapatkan informasi apapun.
Padalah sudah lima bulan Fie pergi. Sampai aku ingat dengan Dhante, temannya
yang aku rasa sangat akrab dengan Fie. Karna waktu kami menikah dulu, dia salah
satu teman yang mewanti-wantiku untuk menjaga Fie dengan baik. Dia satu-satunya
orang yang aku tahu dekat dengan Fie tapi belum aku hubungi.
Setelah
mengunjungi Dhante di tempat kerjanya, lalu kami membuat janji. Dia bercerita
bahwa Fie mengambil beasiswa S-3 di Jerman. Sebenarnya di hari ketika Fie
pergi, dia ingin meminta izin dariku. Tapi sesampainya di rumah, Fie malah
melihatku dengan Peny sedang berdua. Dia emosi dan tanpa pikir panjang,
langsung mengambil barang dan dokumen yang diperlukan. Lalu pergi ke Jerman dan
hanya berpamitan dengan Dhante, beberapa dosennya, serta teman-teman sekantornya.
Dhante bilang, kalau teman-teman Fie tidak ada yang memberi tahu dia di mana,
itu adalah sesuatu yang wajar. Karena memang Fie sudah meminta mereka untuk
tidak memberitahu apa-apa kepada ku. “Fie juga bilang gitu ke gue, tapi gue
kasian sama Lo. Kayaknya Lo kebingungan dan khawatir banget, jadi gue kasih tau
Lo” ucap Dhante lagi. “Lo tenang aja Nar, kalo emang Lo punya niat buat
memperbaiki semuanya. Lo masih punya waktu kok, soalnya Fie bilang dia pulang
bulan depan” “Serius Te ?” “Iya, dia ngambil yang singkat katanya” “Jadi dia
bulan depan bakal pulang ?” “Iya, gue iri banget dah. Cuma enam bulan udah
langsung dapet gelar S-3. Kampret emang tu bocah” “Tapi kan dia emang kuliah di
sini, ngambil S-3 dari 2 tahun yang lalu” “Iya juga sih tapi, tetep aja gue
iri. Pinter banget dia tu, makannya apa sih ?”
Setelah
membicarakan banyak hal dengan Dhante. Aku pun pulang, setelah membersihkan
diri, sholat, dan makan. Aku teringat akan surat yang diberikan Dhante kepadaku
“Sebenernya dia mau ngasih ini ke kamu. Tapi nggak jadi. Nggak tau kenapa
tau-tau nggak jadi.” Ku buka surat itu, ku baca pelan-pelan, tulisan tangannya
yang sangat indah, seindah dirinya yang selalu bisa membuatku terpanah. Setelah
membacanya aku shock, memutar waktu kebelakang, mengingat semuanya,
marah kepada diriku sendiri, lalu terdiam untuk beberapa lama. Setelah itu aku
berfikir bagaimana cara untuk merubah situasi ini.
Hari yang
ditunggu-tunggu telah tiba. Aku mendekorasi rumah dengan suasana yang Fie suka,
bunga Mawar dimana-mana, warna perabot aku ganti dengan warna peach semua, dan
banyak perubahan yang aku lakukan, pada rumahku, dan perubahan pada diriku. Akhirnya
Fie datang dan aku langsung berlari kecil ke arahnya dan menariknya kedalam
pelukanku. Ku kecup keningnya, dan bertanya “Apa kabar Sayang ?” dia tanpak
sangat terkejut dengan kelakuanku “Udah, kamu nggak usah bengong. Masuk sana,
biar barangnya aku yang bawa” Fie melangkah masuk dan aku mengekornya dari
belakang sambil membawa koper-kopernya. Dia berhenti di tangga paling atas
lantai dua. Dia memerhatikan sekelilingnya, tampaknya ia sangat kebingungan. Setelah
aku berhasil menyusulnya, ku letakkan koper Fie di kamar. Lalu aku langsung
menghampirinya. Memeluknya dari belakang dan berkata “Aku kangen sama kamu, aku
udah lama nunggu kamu pulang. Dan aku seneng banget karna akhinya kamu pulang
lagi” dia mendongak untuk melihat mataku yang dari tadi tidak pernah berhenti
menyalurkan senyuman dari bibirku sejak Fie pulang. Kemudian ia melepas
pelukanku, berjalan ke kamar tanpa mengucapkan apapun. Fie mandi, sementara itu
aku berganti pakaian. Memakai satu setel pakaian yang dibelikannya waktu awal
kami menikah, Fie keluar dari kamar mandi dan kembali terkejut. Aku langsung
menghampirinya “Sayang, sekarang kamu masuk lagi ke kamar mandi, ganti baju
kamu sama baju ini” ucapku sambil memberikan baju yang couple dengan
baju yang ku kenakan. “Buat apa, nggak mau” jawabnya singkat sambil mencoba
pergi dari hadapanku, langsung ku tarik tangannya. Dengan paksaanku, akhirnya
dia memakai baju itu.
Aku langsung
memintanya mengikutiku. Recanaku adalah mencoba untuk memperbaiki segalanya dan
mengulangnya dari awal dengan segala sesuatu yang lebih baik. “Nih Yang, blended
coffee dark mocha. Sekarang kita lets go lagi!!” “Mau kemana ?” “Udah,
kamu duduk manis aja disitu. Diminum tuh kopinya.”
#sesampainya
“Fie, aku udah
sadar sepenuhnya. Dan aku akui selama ini aku bodoh banget, nggak peduli sama
kamu padahal kamu istriku dan malah peduli ke Peny padahal dia orang lain. Bodoh
banget karna udah lebih peduli ke orang yang nggak pernah peduli sama aku tapi
nggak pernah peka kalo sebenernya ada orang yang peduli banget sama aku. Aku
udah bukan Dannar yang dulu lagi Sayang, aku sama Peny udah nggak ada apa-apa
lagi. Sekarang aku sadar kalo aku sayang banget sama kamu, waktu kamu pergi aku
baru sadar betapa aku terbiasa ada dideket kamu betapa sebenernya aku sayang
kamu. Sayang, nggak akan pernah ada surat cerai yang bakal kamu tandatangani. Aku
minta maaf yang sebesar-besarnya sama kamu. Aku nyesel banget. Aku mau minta
kesempatan dari kamu satu kali ini aja. Izinin aku tetep ada disamping kamu. Aku
pengen kita mulai semuanya dari awal, tanpa kesunyian, tanpa sesuatu yang
disembunyikan. Menjalani kehidupan baru kita yang penuh dengan cinta, kasih
sayang, keceriaan, dan semua yang kamu suka. Sayang, kamu mau kan kasih aku
kesempatan lagi ?”
Dengan saksi sunset parang tritis dan
dua cup venti kopi beda rasa. Aku mengungkapkan isi hatiku kepada
istriku sore itu. Aku sangat gugup, ditambah lagi jantungku yang terus berdebar
rasanya ingin mencelos keluar. Memang tidak banyak harapan yang aku punya. Mengingat
semua kelakuanku yang pastinya sangat amat mengesalkan dan menyakitkan. “Iya,
aku harap kamu serius sama apa yang kamu bilang tadi” tanpa diduga, Fie
memberikan jawaban yang aku mau. Aku langsung memelukanya erat-erat. Rasanya
tak ingin ku lepas lagi. Dengan saksi matahari yang hampir hilang “Aku sayang
kamu Fie, istriku.” Aku tidak mendengar jawaban apapun darinya, tapi aku mendengar
suara tawa kecil yang sudah sangat membahagiakan buatku. Aku juga bisa
merasakan tangannya yang balas memelukku.
-TAMAT-
Komentar
Posting Komentar