Akhir atau Awal ?



Seberapapun bencinya kamu Nar, satu yang harus kamu tahu. Aku sangat amat mencintai dan menyayangimu. Tolong artikan semua cuek dan sifat seolah masa bodoh ku ini sebagai caraku untuk memperhatikanmu, mempedulikanmu dari jarak jauh. Itu satu-satunya hal yang bisa aku lakukan selama ini. Ketika nanti hal itu tidak bisa kulakukan lagi, tolong simpan baik-baik semua kenangan itu ya Nar. Tidak perlu selalu kau ingat. Hanya saja, aku minta kau untuk menyimpannya. Aku berharap, semoga saja kamu bisa mendapatkan apa yang benar-benar kamu inginkan. Seseorang yang benar-benar kau harapkan kedatangannya.

                                                                                    Berbahagialah suamiku.
                                                                                   
     Dari aku yang selalu ingin kamu bahagia

Tubuhku langsung melemah, banyak sekali kejadian-kejadian lama yang berputar dikepalaku. Seketika itu juga dadaku terasa sesak dan ingin meledak. Seluruh tubuh ini kaku. Aku hanya berada di posisi yang sama selama setengah jam ini. Duduk dipinggiran kasur dengan tatapan kosong dan dengan tangan yang masih memegang sepucuk surat yang baru saja kubaca. Setelah aku ingat semuanya, dari awal hingga akhir. Tiba-tiba air mataku mengalir dengan derasnya. Tanganku terkepal dan menghantam-hantam kasur dengan penuh rasa marah. Aku marah, aku kesal, dan kecewa dengan diriku sendiri.
“Kenapa aku bodoh banget si!! aku tahu dan selama ini aku udah sadar. Tapi kenapa sikap ku ke istriku masih sama. Kenapa aku nggak bisa bikin dia nyaman, kenapa aku nggak bisa ngasih tau dia kalo sebenernya aku juga sayang dia. Kenapa. Kenapa. Kenapa!! Bodoh!!” berkali-kali kata-kata tersebut aku keluarkan, kata-kata kasar itu memang aku keluarkan untuk menghardik diriku sendiri. Kenapa aku baru menyadarinya setelah semuanya berlalu, setelah semuanya berubah. Apa memang benar-benar sudah terlambat ?

#sebelumpenyesalan

Besok hari pernikahanku, aku benar-benar tidak menyangka akan menikah secepat ini. Baru saja satu tahun lulus kuliah, langsung dinikahkan dengan gadis pilihan mama papaku. Mereka bilang “Kamu kan udah kerja, jadi nunggu apa lagi to ? dia anaknya baik kok, cantik, pinter, bibit bebet bobotnya juga mama sama papa udah tau. Langipula, zaman sekarang itu edyan banget loh Nar. Mama sama papa nggak mau kamu ikut-ikut orang di luar sana yang pada nggak bener. Kalo kamu udah nikah kan, paling nggak, ada yang ngawasin kamu. Ada alasan buat kamu nggak ngelakuin hal-hal nggak senonoh kayak gitu.” Nasihat papaku itulah yang mungkin membuatku sedikit tertarik untuk menikah.
“Nar, Fie udah kamu telepon belum ? jangan lupa kasih tau dia kalo besok kita dateng kerumahnya jam 9 ya” ujar mamaku mengagetkan. Melihat ekspresiku dan mengingat aku tidak menjawab perintahnya, mama langsung masuk dan berdiri di sampingku, mengangkat wajahku dan menatapku lekat-lekat, lalu bertanya kembali “Dannar, ada apa ? besok kan kamu mau ijab, kenapa kok kayaknya banyak pikiran gitu ? apa kamu sakit ? atau jangan-jangan kamu keberatan kami jodohkan ?” ucap mama dengan wajah khawatir. “Nggak kok Ma, Dannar nggak papa. Cuma mikir aja, besok Dannar bakal jadi suami orang. Dannar harus bisa jadi suami yang bertanggung jawab buat Fie, istri Dannar. Dannar harus ngerubah ini dan itu, sifat dalam diri Dannar yang masih kayak anak kecil. Cuma itu kok Ma.” Ucap ku, aku harap jawabanku itu akan menenangkan hati mama. “Oalah, itu to. Nar, istri kamu pasti nrimo kok. Baik dan buruknya sifatmu pasti bisa dia maklumi. Dan kamu sebagai suami juga harus bisa nerima kurang dan lebihnya istrimu. Udah, nggak usah mikir macem-macem. Nanti kamu demam lagi.” Jawab mama, “Jangan lupa Fie dikabari” ucap mama sebelum keluar dari kamarku.
Maaf ma, bukan maksud Dannar buat bohong sama mama” batin ku. Sambil perlahan-lahan ku taruh kembali diary coklat bernuansa klasik yang dari tadi sebenarnya aku pandangi, diary itu pemberian Peny. Perempuan yang aku sayangi sejak lama. Sebenarnya yang membuat hatiku berat untuk menikah adalah dia. Sudah lama kami berjanji untuk selalu bersama, dan janji itu masih kami tepati sampai sekarang, teman-temanku banyak yang sudah mengetahui tentang hubungan kami. Tapi setiap aku mencoba untuk mengajaknya menikah, selalu saja ada alasan untuk menolaknya. Salahku juga yang tidak pernah mengenalkan Peny kepada mama papa. “Udahlah, dia juga udah tau kalo besok aku nikah. Dan kayaknya dia baik-baik aja denger kabar itu. Apa mungkin dia emang bener nggak ada niat serius sama aku.” Ucapku, sambil beranjak dari tempat dudukku dan mengambil handphone yang dari tadi menjadi saksi kegalauan seorang Dannar Nugraha.
Hari menegangkan ini telah ku jalani, Alhamdulillah tanpa hambatan apapun. Fie sangat cantik dengan gaun putih gradasi biru yang dikenakannya. Peny datang dan mengucapkan selamat seperti tamu lainnya. Wajah keluargaku dan keluarga Fie terlihat sangat bahagia. Ku rasa aku juga bahagia hari ini, walaupun tetap ada perasaan bimbang dalam hati. Setelah acara hari ini usai, seperti rencana awal. Aku berniat utuk tinggal sendiri dengan Fie di rumah baru kami.
Hari-hari berlalu seperti biasa. Fie menjadi istri yang sholihah dan sangat berbakti kepada ku, suaminya. Dia selalu memasak makanan yang menurutku sangat lezat, membangunkanku saat subuh tiba, menyiapkan bajuku, merapihkan dasiku, mencium tanganku setiap aku pergi dan pulang bekerja, membuatkan ku susu setiap sebelum tidur, mengingatkanku kalau aku sudah terlalu asik bekerja di ruang kerja sampai larut malam. Dia tidak pernah merepotkanku, dia tidak pernah membuatku marah, dia menjadi istri yang sangat baik bahkan bisa di bilang sempurna. Tapi entah kenapa, aku masih menjalin hubungan dengan Peny seperti sebelumnya. Fie tidak mengetahu hal bejat yang aku lakukan ini. Karena dia tidak pernah bertanya dan bertindak yang macam-macam kepadaku. Jadi aku merasa sangat aman melakukan hal ini.
Sampai suatu hari ketika aku memberitahunya bahwa aku tidak bisa pulang ke rumah untuk makan siang karena aku masih harus menyelesaikan pekerjaan kantorku, ternyata dia datang dan membawakan bekal untukku. Dan saat itu dia harus melihat pemandangan yang tidak seharusnya dia lihat. Dia datang ketika aku hendak menyuapkan Peny sesendok nasi.
Fie langsung berjalan ke arahku dan ia menatap Peny, wajahnya berubah. Seperti orang yang ingin marah, seperti orang cemburu. Aku sudah takut kalau-kalau dia melakukan sesuatu yang buruk kepada Peny. Tapi prediksiku salah. Setelah menatap Peny cukup lama, Fie langsung beralih menatapku. “Mas, ini aku bawain makan siang. Maaf agak telat, tadi di ring road agak macet soalnya.” Ucapnya sambil menyelipkan senyuman diakhir perkataannya, hal itu jelas membuatku sedikit kaget dan merasa bersalah. “Fie, makasih ya. Kamu sampai repot-repot begini. Kamu udah makan sayang ?” “Nggak papa kok Mas, belum. Nanti aku makannya, di kantor.” “Makan di sini aja yuk, sama Mas” mendengar ajakanku itu, dia tidak langsung menjawab. Fie menatap mata Peny sekali lagi dan berkata “Nggak usah Mas, aku langsung ke kantor aja” sambil terus menatap Peny. “Aku ke kantor sekarang ya Mas, Assalammualaikum” ucapnya sambil mencium tanganku dan berlalu. Tanpa menatap Peny lagi.
“Nar, gimana nih. Aku taut nanti dia marah, aku takut banget pas Fie natap aku kayak tadi” ucap Peny selepas Fie pergi. “Tenang aja, Fie nggak kayak gitu kok” jawabku sambil menggenggam tanyan Peny.
Setelah kejadian itu, dua hari sikap Fie berubah. Dia tetap mengerjakan apa yang menjadi kewajibannya, tapi dengan wajah yang berbeda. Aku belum siap basa-basi menanyakan apa yang terjadi. “Mas, kamu ada hubungan apa sama Peny ?” pertanyaan itu dilontarkannya ketika aku baru saja melihat matanya yang terpejam.”Nggak ada kok Sayang, nggak ada apa-apa” ucapku dengan sesantai-santainya. Padahal kalau saja dia melihat wajahku saat itu, aku yakin dia pasti akan langsung tahu kalau aku sedang berbohong. “Nggak ada apa-apa kok tapi mesra gitu, kita aja nggak segitunya” ucapnya “Bener Fie, nggak ada apa-apa” ucapku lagi, setelah itu tidak ada lagi jawaban. Aku langsung memejamkan mataku yang sebenarnya tidak mau ku ajak tidur. Setelah kira-kira 30 menit berlalu, Fie menghidupkan lampu dan aku tidak tahu apa yang ia lakukan. Mungkin menatap wajahku, yang jelas ia berkata “Aku cemburu Nar, kenapa hal sesepele itu bisa bikin perasaanku campur aduk nggak karuan ? kenapa kamu nggak pernah ngelakuin hal itu ke aku ? kenapa malah ke Peny yang bukan istri kamu ? aku nggak tau apa yang sebenernya aku rasain sekarang Nar, aku nggak bisa nerjemahin perasaanku yang satu ini. Aku sayang banget sama kamu Nar, memang kita hammpir kayak orang nggak kenal selama empat bulan ini, kayak hidup sendiri-sendiri dalam satu rumah yang sama. Berasa idiot banget ngelakuin hal macem itu Nar. Tapi empat bulan ini berhasil bikin aku sayang sama kamu. Ngeliat kamu setiap baru bangun, ngeliat kamu pergi ngantor, nungguin kamu pulang, itu bener-bener bikin aku bahagia. Ngebuat aku ngerasa jadi istri yang semestinya. Tapi dua hari yang lalu, kamu bener-bener ngehancurin perasaan aku Nar. Good night Sayang” darahku berdesir dan rasanya mataku sangat ingin terbuka mendengar Fie membisikkan kata-kata itu didekat ku. Tanganku hampir terangkat untuk menghapus air matanya yang mengalir karena menahan rasa sakit hati atau kebencian, aku tak tahu pasti. Aku bisa merasakan kegelapan yang kembali dipaksa menghampiri kamar kami. Setelah itu ia menempatkan tubuhnya pada posisi biasa ia tidur.
“Hari ini kan Sabtu Mas, Mas Dannar punya rencana ?” tanya Fie. “Hem, iya Sayang. Mas mau ketemu temen sekitar jam sepuluh nanti. Ada apa ?” jawabku “Oh, nggak papa Mas.” Hanya itu percakapan pagi ini. Kemudian tidak ada lagi yang kami bicarakan.
Setelah aku memesan satu blended coffee espresso ukuran venti, dan memilih dua talk bread. Aku langsung megedarkan pandanganku ke seluruh ruangan. Setelah itu aku lagsung melangkahkan kaki ku menuju meja dekat jendela dan langsung duduk di hadapan gadis yang sepertinya sudah menungguku dari tadi “Itu kopi udah abis setengah Pen ? aku kelamaan ya ?” tanyaku “Ah, nggak juga kok Nar” jawabnya sambil tersenyum “Tuan espresso, kopi mu tuh” ucapnya lagi setelah nama ku dipanggil “Bentar ya” ucapku sambil beranjak menuju sumber suara. Satu jam telah berlalu. Seperti biasa, selalu banyak hal yang kami ceritakan. Bahkan setelah kejadian hari itu.
“Fie Elsa Agatha, starbuck blended coffee dark mocha!!”
“Fie Elsa Agatha, starbuck blended coffee dark mocha!!” ucap mas-mas ber apron hijau tua itu dengan suara ringan menyenangkan. Namun sama sekali tak bisa membuat Fie berpaling melihat dari arahku. Sudah dua kali ia menyebutkan namanya. Sejujurnya aku terkejut ketika mas-mas itu menyebutkan nama Istriku, setelah mendengarnya aku langsung mencari-cari pemilik nama itu. Dan ternyata Fie tengah duduk terpaku di meja depan dengan pandangan yang sulit aku terjemahkan. Matanya menatap tajam kearah kami berdua. Aku tidak tahu sejak kapan Fie ada di sana, memperhatikan kami.
“Fie Elsa Agatha, starbuck blended coffee dark mocha ukuran venti nya udah mbak.” Setelah mendengar suara itu ia langsung berjalan kearah counter, mengambil pesanannya lalu membayar. Ia berjalan keluar tanpa melihat ke arah kami lagi. Peny sama terkejutnya denganku. Dia langsung diam dan mengarahkan pandangannya keluar jendela.
Setelah Sabtu itu, terus terjadi kejadian yang tidak diinginkan. Aku tidak tau seberapa banyak sakit yang Fie rasakan. Tapi Fie tidak pernah mengatakan apapun kepadaku. Ia hanya menyampaikan isi hatinya pada malam itu, selebihnya tidak pernah lagi.
Malam ini badanku rasanya tidak karuan, lemas sekali. Aku merasa kedinginan. Tapi aku tidak bisa mematikan AC seperti yang ku mau. Karna nanti Fie pasti akan kepanasan. Sekuat tenaga aku menahan badanku yang terus menggigil. Sampai ketika Fie tanpa sadar menyenggol tangan ku. Dan aku bisa merasakan bahwa ia terkejut. Setelah itu Fie bangun dan memeriksa kondisiku. Ditempelkannya telapak tangannya di kening, leher, dan belakang telingaku. “Mas, Mas kenapa ? apa yang Mas rasain ?” tanyanya “Nggak tau, Badanku rasanya dingin banget” “Badan Mas anget, terus mas ngerasa kedinginan. Kenapa bisa demam ? Mas makan apa sih emangnya ?” dia mengucapkannya sambil mematikan AC dan berjalan keluar kamar, setelah itu Fie masuk dengan membawa satu baskom dan handuk kecil serta obat. Dibalurkannya minyak kayuputih ke tubuhku, setelah Fie memintaku duduk sebentar untuk meminum obat, dia langsung menyuapkan obat ke mulutku serta langsung memberiku segelas air putih yang langsung kutenggak habis. Setelah itu dia mengompres ku, setengah jam berlalu aku masih bisa merasakan Fie yang terlihat cemas dan terus mengurusi aku yang sedang sakit. Sampai aku jatuh tertidur.
Keesokan harinya, aku terbangun dan aku bisa melihat Fie tertidur dalam posisi duduk dengan tangan masih memegang handuk yang ditempelkannya di keningku. Aku melihat kantung matanya yang membesar, menandakan bahwa ia benar-benar tidak tidur semalaman, wajahnya terlihat letih. Aku memandanginya, dan ketika tanganku akan meraih helai-helai rambutnya, tanganku tertahan karena suara handphone yang tiba-tiba berdering. Fie langsung terbangun dan melihatku sebentar. Lalu ia beranjak mengambil handphonenya kemudian mengangkat panggilan itu. “Maaf Pak, hari ini saya tidak bisa ke kantor. Ada yang harus saya kerjakan di rumah” “Iya Pak, laporan dan materi untuk meeting hari ini sudah saya kirimkan ke email bapak” “Iya Pak, sekali lagi saya mohon maaf ya Pak” “Iya Pak, selamat pagi.” Setelah itu ia menaruh hanphonenya lagi. Aku bisa melihat laptopnya yang sedikit terbuka di atas meja tepat disampingku. Aku semakin yakin kalau Fie tidak tidur semalaman demi menjaga aku.
Selama dua hari, Fie mengurusi ku dengan sangat baik dan aku bisa merasakan kasih sayang yang ia berikan. Peny tahu kalau aku sendang sakit dan aku tidak tahu alasannya apa sehingga dia sama sekali tidak berkunjung untuk menengok keadaanku, sampai aku kembali bekerja pun Peny tidak menanyakan keadaanku. Setelah beberapa hari kemudian, Peny memintaku untuk mengajaknya menonton video yang kami buat pada saat SMA. Aku langsung mengajaknya kerumah dan memutarkan videonya. Kami menonton di ruang keluarga. Saking asyiknya, kami jadi lupa waktu. Waktu hampir menunjukkan jarum pendeknya ke angka sebelas. Aku lupa kalau biasanya Fie pulang jam sebelas untuk memasak makan siang. Dan memang benar, setelah aku melihat jam. Fie langsung masuk dan melihat kami dengan tatapan tidak percaya. Aku sangat gugup, dan kegugupanku itu membuat tubuhku kaku, tidak bisa ku gerakkan. Rasanya seperti ada yang menyiramkan satu ember besar lem ke tubuhku ini. Setelah itu Fie langsung berjalan ke arah kamar. Tidak lama kemudian, ia keluar dengan dua koper besar di sisi kiri dan kanan. Tubuhku masih kaku, sampai ketika Fie akan memasuki mobilnya, aku langsung berlari keluar “Fie, kamu mau kemana ?” dia hanya melihatku sebentar, lalu mengarahkan pandangan kepada Peny. Hanya mengatakan “Aku siap menandatangani surat cerai kapan pun kamu kasih ke aku Mas” setelah mengucapkan itu Fie langsung masuk mobil dan meninggalkan kami berdua.
Setelah itu Peny langsung pulang. Aku dan Peny tidak pernah saling menyapa lagi baik di kantor maupun di luar kantor. Aku mencari istriku kemana-mana. Aku mencarinya di rumah orang tuaku, menelpon mertuaku, menelpon sanak saudara yang lain, pergi ke rumahnya dulu yang ia tempati sebelum menikah denganku, menanyakan kepada temannya, mencari namanya di seluruh hotel yang ada, tapi hasilnya nihil. Sampai aku hampir putus asa karena tidak bisa mendapatkan informasi apapun. Padalah sudah lima bulan Fie pergi. Sampai aku ingat dengan Dhante, temannya yang aku rasa sangat akrab dengan Fie. Karna waktu kami menikah dulu, dia salah satu teman yang mewanti-wantiku untuk menjaga Fie dengan baik. Dia satu-satunya orang yang aku tahu dekat dengan Fie tapi belum aku hubungi.
Setelah mengunjungi Dhante di tempat kerjanya, lalu kami membuat janji. Dia bercerita bahwa Fie mengambil beasiswa S-3 di Jerman. Sebenarnya di hari ketika Fie pergi, dia ingin meminta izin dariku. Tapi sesampainya di rumah, Fie malah melihatku dengan Peny sedang berdua. Dia emosi dan tanpa pikir panjang, langsung mengambil barang dan dokumen yang diperlukan. Lalu pergi ke Jerman dan hanya berpamitan dengan Dhante, beberapa dosennya, serta teman-teman sekantornya. Dhante bilang, kalau teman-teman Fie tidak ada yang memberi tahu dia di mana, itu adalah sesuatu yang wajar. Karena memang Fie sudah meminta mereka untuk tidak memberitahu apa-apa kepada ku. “Fie juga bilang gitu ke gue, tapi gue kasian sama Lo. Kayaknya Lo kebingungan dan khawatir banget, jadi gue kasih tau Lo” ucap Dhante lagi. “Lo tenang aja Nar, kalo emang Lo punya niat buat memperbaiki semuanya. Lo masih punya waktu kok, soalnya Fie bilang dia pulang bulan depan” “Serius Te ?” “Iya, dia ngambil yang singkat katanya” “Jadi dia bulan depan bakal pulang ?” “Iya, gue iri banget dah. Cuma enam bulan udah langsung dapet gelar S-3. Kampret emang tu bocah” “Tapi kan dia emang kuliah di sini, ngambil S-3 dari 2 tahun yang lalu” “Iya juga sih tapi, tetep aja gue iri. Pinter banget dia tu, makannya apa sih ?”
Setelah membicarakan banyak hal dengan Dhante. Aku pun pulang, setelah membersihkan diri, sholat, dan makan. Aku teringat akan surat yang diberikan Dhante kepadaku “Sebenernya dia mau ngasih ini ke kamu. Tapi nggak jadi. Nggak tau kenapa tau-tau nggak jadi.” Ku buka surat itu, ku baca pelan-pelan, tulisan tangannya yang sangat indah, seindah dirinya yang selalu bisa membuatku terpanah. Setelah membacanya aku shock, memutar waktu kebelakang, mengingat semuanya, marah kepada diriku sendiri, lalu terdiam untuk beberapa lama. Setelah itu aku berfikir bagaimana cara untuk merubah situasi ini.
Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Aku mendekorasi rumah dengan suasana yang Fie suka, bunga Mawar dimana-mana, warna perabot aku ganti dengan warna peach semua, dan banyak perubahan yang aku lakukan, pada rumahku, dan perubahan pada diriku. Akhirnya Fie datang dan aku langsung berlari kecil ke arahnya dan menariknya kedalam pelukanku. Ku kecup keningnya, dan bertanya “Apa kabar Sayang ?” dia tanpak sangat terkejut dengan kelakuanku “Udah, kamu nggak usah bengong. Masuk sana, biar barangnya aku yang bawa” Fie melangkah masuk dan aku mengekornya dari belakang sambil membawa koper-kopernya. Dia berhenti di tangga paling atas lantai dua. Dia memerhatikan sekelilingnya, tampaknya ia sangat kebingungan. Setelah aku berhasil menyusulnya, ku letakkan koper Fie di kamar. Lalu aku langsung menghampirinya. Memeluknya dari belakang dan berkata “Aku kangen sama kamu, aku udah lama nunggu kamu pulang. Dan aku seneng banget karna akhinya kamu pulang lagi” dia mendongak untuk melihat mataku yang dari tadi tidak pernah berhenti menyalurkan senyuman dari bibirku sejak Fie pulang. Kemudian ia melepas pelukanku, berjalan ke kamar tanpa mengucapkan apapun. Fie mandi, sementara itu aku berganti pakaian. Memakai satu setel pakaian yang dibelikannya waktu awal kami menikah, Fie keluar dari kamar mandi dan kembali terkejut. Aku langsung menghampirinya “Sayang, sekarang kamu masuk lagi ke kamar mandi, ganti baju kamu sama baju ini” ucapku sambil memberikan baju yang couple dengan baju yang ku kenakan. “Buat apa, nggak mau” jawabnya singkat sambil mencoba pergi dari hadapanku, langsung ku tarik tangannya. Dengan paksaanku, akhirnya dia memakai baju itu.
Aku langsung memintanya mengikutiku. Recanaku adalah mencoba untuk memperbaiki segalanya dan mengulangnya dari awal dengan segala sesuatu yang lebih baik. “Nih Yang, blended coffee dark mocha. Sekarang kita lets go lagi!!” “Mau kemana ?” “Udah, kamu duduk manis aja disitu. Diminum tuh kopinya.”

#sesampainya

“Fie, aku udah sadar sepenuhnya. Dan aku akui selama ini aku bodoh banget, nggak peduli sama kamu padahal kamu istriku dan malah peduli ke Peny padahal dia orang lain. Bodoh banget karna udah lebih peduli ke orang yang nggak pernah peduli sama aku tapi nggak pernah peka kalo sebenernya ada orang yang peduli banget sama aku. Aku udah bukan Dannar yang dulu lagi Sayang, aku sama Peny udah nggak ada apa-apa lagi. Sekarang aku sadar kalo aku sayang banget sama kamu, waktu kamu pergi aku baru sadar betapa aku terbiasa ada dideket kamu betapa sebenernya aku sayang kamu. Sayang, nggak akan pernah ada surat cerai yang bakal kamu tandatangani. Aku minta maaf yang sebesar-besarnya sama kamu. Aku nyesel banget. Aku mau minta kesempatan dari kamu satu kali ini aja. Izinin aku tetep ada disamping kamu. Aku pengen kita mulai semuanya dari awal, tanpa kesunyian, tanpa sesuatu yang disembunyikan. Menjalani kehidupan baru kita yang penuh dengan cinta, kasih sayang, keceriaan, dan semua yang kamu suka. Sayang, kamu mau kan kasih aku kesempatan lagi ?”
 Dengan saksi sunset parang tritis dan dua cup venti kopi beda rasa. Aku mengungkapkan isi hatiku kepada istriku sore itu. Aku sangat gugup, ditambah lagi jantungku yang terus berdebar rasanya ingin mencelos keluar. Memang tidak banyak harapan yang aku punya. Mengingat semua kelakuanku yang pastinya sangat amat mengesalkan dan menyakitkan. “Iya, aku harap kamu serius sama apa yang kamu bilang tadi” tanpa diduga, Fie memberikan jawaban yang aku mau. Aku langsung memelukanya erat-erat. Rasanya tak ingin ku lepas lagi. Dengan saksi matahari yang hampir hilang “Aku sayang kamu Fie, istriku.” Aku tidak mendengar jawaban apapun darinya, tapi aku mendengar suara tawa kecil yang sudah sangat membahagiakan buatku. Aku juga bisa merasakan tangannya yang balas memelukku.




-TAMAT-
 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rangkuman Berapresiasi Seni Rupa K13

Ragam Musik Tradisional Musi Banyuasin

Pemanfaatan Produk dan Jasa Perbankan